Perdagangan Kaum Hawa
"It happened, therefore it can be happened again: this is the core of what we have to say." (Primo Levi)
Masalah trafficking masih terus membelenggu negeri kita, seperti tampak pada Cover Story Jawa Pos (21 dan 22 April 2009) yang mem-blow up perdagangan perempuan asal bumi Minahasa ke Papua.
Memang, masalah perdagangan orang begitu memprihatinkan. Mengapa ada manusia yang tega menjual sesama untuk dieksploitasi tubuhnya, bahkan diambil organ tubuhnya sehingga martabat luhur kemanusiaannya sungguh amat dilecehkan?
Membaca "Cover Story" itu, saya jadi teringat kalimat salah satu korban holocaust Primo Levi di awal tulisan ini yang menyebutkan "Trafficking terjadi lagi, sehingga masalah ini bisa saja terus terulang: Inilah inti persoalan yang harus kita bicarakan".
Tak heran jumlah kasus ini terus membengkak. Menurut Laporan Perdagangan Manusia yang dirilis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat 2007, Indonesia tercatat sebagai juara kedua dunia dalam soal dagang manusia. Sekitar 1,2 juta (dari 2,5 juta orang yang diperdagangkan) adalah anak di bawah usia 18 tahun. Yang mengerikan, trafficking juga memperjualbelikan sebagian organ tubuh korban untuk kepentingan transplantasi.
Mengapa kasus dagang orang terus melonjak dan terulang? Dengan sederhana kita bisa menunjuk kemiskinan sebagai pemicunya. Tapi, jika dipikir, jawaban ini terkesan amat simplistis. Pasalnya, banyak orang miskin yang bisa tetap bertahan dalam hidup yang lurus (istiqamah). Di tengah berbagai tekanan harga sembako yang kian mencekik, mereka tidak sampai menjual diri.
Uang Lecehkan Martabat Manusia
Memang materialisme bisa menggoda sebagian orang, meski mereka tidak masuk kategori miskin. Tentu saja ada orang miskin yang tergoda akan materi sehingga rela menjual anggota kerabatnya sendiri.
Materialisme atau godaan akan uang juga telah menggoda para calo atau muncikari untuk menipu banyak gadis dengan iming-iming kerja enak, tapi kemudian dilacurkan. Kita tentu tidak melupakan kasus puluhan gadis asal Tulungagung yang diiming-imingi menjadi duta wisata ke Jepang, lalu dilacurkan di Tokyo dan beberapa kota lain di Jepang. Publik perlu sadar modus operandi para calo trafficking.
Publik juga harus sadar trafficking adalah tindak kriminal. Ini boleh jadi yang kurang disadari banyak kalangan, termasuk pihak keluarga yang kerap justru menjadi pengambil inisiatif awal dalam menjual kerabatnya sendiri kepada para calo.
Mengapa ini jahat? Karena yang diperjualbelikan adalah manusia. Martabat manusia benar-benar dibuat lebih rendah daripada hewan jika praktik ini terus dilakukan. Dalam Vienna Forum PBB baru-baru ini juga ditekankan perlunya martabat manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, dilindungi dari bahaya trafficking.
Sosialisasi UU No 21/2007
Nah, agar tidak makin banyak korban, negeri kita sebenarnya sudah punya payung hukum. Pertama, pasal 297 KUHP yang menyebutkan larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa.
Kedua, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (pasal 83). Ketiga secara khusus Indonesia juga telah menerbitkan lex specialis (hukum khusus) tentang perdagangan orang, yaitu: UU No 21/2007.
Agar lex specialis ini lebih tersosialisasi, kita perlu mengetahui apa sebenarnya definisi perdagangan manusia. Menurut UU No 21/2007 pasal 1 angka 1, perdagangan orang adalah: "tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi."
Kita juga perlu tahu apa yang dimaksud korban menurut UU No 21/2007. Definisi korban perdagangan orang adalah: "seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang" (pasal 1 angka 3 UU No 21/2007).
Lalu apa ancaman hukumannya? Pasal 2 UU No 21/2007 mengancam sanksi pidana bagi para penjahat perdagangan manusia. Yang dimaksud pelaku dalam hal ini adalah penjual dan pembeli, termasuk lelaki hidung belang. Sanksi hukumnya adalah penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta, dan paling banyak Rp 600 juta. Jika korbannya anak-anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga (pasal 17).
UU No 21/2007 sudah bagus, hanya perlu lebih disosialisasikan dan tentu saja perlu sungguh diterapkan untuk menjerat para pelaku agar tidak sekadar menjadi macan kertas. Sebab, sudah banyak hukum bagus di negeri ini, tapi kemudian lemah dalam implementasinya.
[JP Online, Kamis, 23 April 2009]
Oleh : Mustofa Liem
Mustofa Liem Ph.D , pernah penjadi Koordinator Antitrafficking untuk Region Indonesia Timur (2004-2007).
Padhang Bulan
1 komentar:
salam kenal
wanita adalah keindahan,hormatilah dia, hargailah dia, sayangilah dia..karna dia telah berjuang dgn susah payah untuk menghadirkanmu didunia
hawa nafsu itu seperti air laut, semakin kita minum maka kita semakin merasa kehausan..! jgn lah nafsu itu memperbudak hati dan akalmu sobat
jgnlah terlalu cinta dunia & takut mati karna maut itu dtg tiba tiba, tapi takutlah saat kamu tidak berbuat kebaikan ketika diberi kesempatn
http://kentutsiangbolong.blogspot.com
Posting Komentar